Cemara.

Arfani Ihksan
1 min readMar 26, 2024
Photo by Austin Park on Unsplash

Kala siang itu terik matahari terpancar keras..

Sedang dahan dan ranting pergi menanggalkan ibunya…

Aroma yang menusuk hidung terbaur alam..

Disertai pinus yang mulai jatuh berdatangan..

Dan suara kicauan burung terbang berirama..

Aku termenung dalam suatu siang..

Tak pernah terfikirkan kalau cemara ini menyelamatkanku, dia mencoba menyampaikan pesan kepadaku..

Dia tahu kalau aku sedang termenung sedih, melambaikan daun-daunnya untuk merangkulku dalam sunyi..

Sejenak aku merasa terbuai..

Seolah dia mendengar keluh kesahku..

Dia berikan sinyal padaku seolah berkata “Hey, hidup akan berjalan baik-baik saja, teruslah melangkah,” ungkap cemara.

“Hidupku tak adil, aku tau kau akan terus berdiri kokoh disini selama puluhan tahun tanpa mengeluh!” kataku dengan nada yang sedikit tinggi.

Memang benar, aku memang tak sekuat cemara. Aku mengeluh saat angin menamparku.. tak kuat merasakan terik dan dinginnya alam. aku memang lemah.

“Hingga saat ini aku berdiri kokoh, aku besar dengan alam.. aku tak memusuhi matahari.. tapi merangkulnya dan bersama-sama menjalani hari demi hari untuk terus bertumbuh, berdampingan satu sama lain.” ujarnya.

Untuk tumbuh kokoh seperti ini, dia pernah melewati kecil, makanan pun minim dan air juga tak membantunya. Tetapi mereka tetap berdampingan meskipun hidup dalam kekalutan..

Karena tidak besar dari keluarga cemara, mungkin aku tidak bisa merasakan hal yang sama.

“Andaikan keluargaku cemara, apakah aku mengenal harmonis?”

--

--

Arfani Ihksan

“Salah satu aset tertinggi yang perlu dimiliki setiap manusia adalah kebebasan “— Bob Sadino